Enter Your Slogan Here: Lorem Ipsum Semblar un Simplificat Quam un Skeptic!

Friday, October 13, 2017

Restoring My Faith (1)

Seberat apapun aku melalui perpisahan ini, jauh di lubuk hatiku aku meyakini ini adalah bentuk ujian dari Allah. Lagi. Karena Allah sayang aku. Aku ingin kembali ke jalan Nya, jadi Allah mau membuktikan apakah aku sungguh dengan niat taubatku atau aku masih gamang dan berpaling lagi.

Mungkin benar, kelemahan terbesarku sejak dulu adalah di hati. Hatiku lemah terhadap cinta. Cinta pertama sejak SMA, lelaki yang sempat mampir sejenak saat kelulusan kuliah, sampai aku mulai perlahan menjauh dari Allah dan meninggalkan Dia bertahun-tahun lamanya hanya karena seorang pria. Setelah gagal, aku menyalahkan Dia. Aku mulai mempertanyakan kenapa aku harus tetap di agama ini. Kecenderunganku sepertinya makin menjauh dari tuntunanNya. Jadi aku harus mengikuti kata hatiku atau kata Nya?

Jika kegagalan dengan pria yang kutangisi dulu membuatku jauh dari Allah, ujian kali ini rasanya berbeda. Entah kenapa aku merasakan ini bentuk kasih sayang Allah. Memang masih selalu tarik menarik antara suara kebaikan dan bisikan setan di dalam diriku, perang batin itu masih ada. Tapi berangkat dari keyakinan Allah sayang aku makanya mengujiku dengan perkara serupa, aku berusaha mendapatkan kekuatan terus untuk menunjukkan bahwa aku memang ingin kembali pada Nya.

Dalam beberapa bulan terakhir aku "gila" karena terlampau sakit dengan kisah yang lalu, aku kadang merenung, kenapa makin ke sini, aku makin tidak bisa sejalan dengan nilai-nilai Islam yang dulu kuyakini. Sepertinya makin aku melihat dunia, makin aku merasa Islam berat. Shalat 5 waktu, misalnya. Dan banyak kesukaanku yang kok dilarang di Islam. Contoh? Musik.

Lalu aku mulai berpikir, kalau mau kembali ke Allah, aku mesti meyakini dulu bahwa memang Islam adalah satu-satunya agama yang mesti kupegang. Biar bisa mempelajari ulang dari hati. Bagaimanapun aku terlahir muslim, dari kecil dididik secara muslim, dan hanya tahu agama-agama lain sepintas lalu saja. Jadi aku sempat sesekali mempelajari agama-agama lain. Syukurlah aku masih yakin terhadap Islam, dan selalu ada perasaan Allah memang Tuhan satu-satunya. Zat yang mencipta, mengatur, maha Kuasa. Dan itulah intinya Islam, tauhid. Jadi aku memutuskan akan memulainya dari situ. Sederhana. Sesederhana konsep ketuhanan di Islam: menyembah Tuhan yang satu-satunya.

Bahkan di saat-saat aku mempertanyakan banyak hal dan meragukan Islam, aku masih selalu merasa Islam spesial, bahkan cuma dari namanya. Sekarang aku mengembalikan keyakinanku: aku yakin Islam dengan konsepnya yang sederhana, sesederhana menyembah Tuhan yang satu, meyakini Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir penyempurna ajaran-ajaran tauhid sebelumnya yang melaluinya Allah sampaikan ajaranNya. Sesederhana konsep beribadah yang tanpa perantara, yang hanya butuh mukena dan air wudhu. Cukup aku mulai dari situ untuk menumbuhkan lagi keimananku.

Aku nggak akan tiba-tiba berjilbab panjang, anti celana dan memakai kaus kaki setiap saat seperti dulu saat SMA atau mendadak berubah bergamis dan berjilbab sekaki dan mengaji salafi seperti yang saat ini sedang menjamur dimana-mana. Aku akan perlahan saja mengembalikan dulu keimananku. Kalau kondisi seperti ini aku dipaksa menjalankan Islam yang terlihat berat, aku mungkin malah akan mental duluan. Aku masih suka nyanyi, aku masih lebih suka mendengarkan lagu Korea saat menyetir, aku masih akan mendengarkan lagu saat mandi, dan mungkin malah aku akan mengangkat jilbabku. Tapi aku hanya akan menjalankan semuanya dari hati dan tanpa merasa terpaksa... Aku yakin agama bukan paksaan. Aku akan menjalankan semampuku, seperti artian doa pada zikir pagi dan petang yang beberapa hari ini mulai kubaca.

Yang terpenting bagiku sekarang, mengembalikan keyakinan bahwa Islam tidak sulit dan ajarannya sempurna. Sempurna, artinya benar. Bahwa aku masih mendengarkan musik karena aku belum sanggup menggantinya ke ayat-ayat Quran atau ceramah penguat iman (atau di kondisiku sekarang jadi pembeban). Bukan karena ajaran mendengarkan musik itu salah, karena konsep macam inilah yang membuatku merasa berat. Begitupun dengan yang lain-lainnya. Aku dulu menganggap "Jika tidak total, mending tidak sama sekali kan? Kalau mendengarkan musik haram dan aku berdosa karenanya, jadi mending aku sekalian tidak berislam saja? Kan jadi ga ada istilah dosa? Karena aku memang suka musik. Untuk apa menjalankan ini itu dengan perasaan oh ini dosa gue kayak gini, mana bisa orang hidup tenang dengan begitu? Sementara aku belum sanggup meninggalkannya?" Aku tidak akan tahan hidup dengan perasaan begitu. Jadi aku akan berdamai dengan diriku.... Berislam semampuku dulu. Akhir orang nggak ada yang tahu. Cukup doakan, jangan disinis-sinisi. Berislam dengan penuh keyakinan dulu. Bisa jadi aku suka musik sekarang tapi nanti ada satu titik aku jenuh atau dikasih peristiwa tertentu yang bikin aku sadar kenapa musik dilarang. Ajarannya nggak salah, hanya kita belum siap. Mungkin memang dosa, hanya belum sanggup kutinggalkan, Bukan mengecilkan dosa, tapi ini memang tidak sama dengan membunuh atau berzina, kan. Ada alasan musik dilarang, karena Allah lebih tahu. Aku masih mendengarkan, karena belum sanggup kutinggalkan, bukan karena ajarannya salah. Konsep macam ini yang sedang kutanamkan. Perkara dosa biar jadi urusan Tuhan. Toh yang kuyakini, orang akan ke surga karena rahmatNya. Menjalankan banyak amalan jika setengah hati, untuk apa?

Mengapa aku makin merasa Islam berat, mungkin karena aku makin cinta dunia. Wajar menurutku, karena kita hidup di dunia ini, dengan segala yang kita hadapi di dalamnya setiap harinya. Tapi kemudian, agama hadir jadi semacam rem atas besarnya kecintaan kita pada dunia ini. Karena jika menuruti keinginan manusia, pasti akan terus mengejar dunia tanpa henti. Mau kaya, mau hidup senang, mau pasangan rupawan, mau sehat terus. Padahal ada kekuatan super di luar sana yang mengatur itu semua, lho. Mau sehat terus biar bisa nikmatin dunia terus? Oke kita jalankan gaya hidup sehat, tapi tiba-tiba terserang kanker, kok bisa? Takdir. Tanpa keyakinan akan adanya Tuhan yang Maha Mengatur, aku nggak bisa bayangin bagaimana bakal kacaunya aku kalau terjadi hal-hal di luar perhitungan manusia.

   



0 comments:

Post a Comment