Enter Your Slogan Here: Lorem Ipsum Semblar un Simplificat Quam un Skeptic!

Wednesday, October 25, 2017

Because Life Does Go On

Aku rasa, sejak Jumat lalu aku mulai hidup lagi.
"Naik gunung, yuk", ujarku random seperti biasa, di salah satu group pertemanan di Whatsapp.
"Kalau lagi galau, jangan ah.", seorang teman menanggapi.
Akhirnya mereka yang simpati padaku yang lagi-lagi sedang terpuruk ini, "memaksa" nonton Pengabdi Setan saja. Dan sejak malam itu, aku makin memaksa diriku untuk bahagia. Karena aku sadar, life goes on. Kamu gloomy terus, sementara yang di sana santai saja, mungkin juga sudah mulai lirik-lirik wanita lagi. Kamu kok bodoh? Hehe.

Sejujurnya di saat-saat terpuruk, aku selalu mendambakan kematian. Seketika aku nggak takut sama maut. Aku ingin Allah sudahi saja hidupku, karena aku benar-benar sulit mengontrol kapan aku tiba-tiba merasa helpless, merasa menderita sendiri, merasa hopeless, merasa tidak ada hal baik lagi yang akan menghampiriku. Hati ini... seperti ada bagian yang benar-benar kosong, hampa, minta diisi. Kalau sudah begini, aku cuma bisa nangis. Dulu aku salah-salahin Allah, tapi sekarang aku pelan-pelan lebih memilih untuk berwudhu, gelar sajadah, dua rakaat dan berdoa. Kalau bukan ke Allah, aku pasti akan jatuh lebih dalam lagi. Padahal niatan awalku menyudahi dengan dia, karena aku nggak mau jatuh lebih dalam.

Jadi saat aku ngajak naik gunung... Itu memang ada bersitan pikiran nggak apa apa kalau terjadi sesuatu nanti di sana. Tapi untungnya teman-teman masih meluruskan niatanku yang agak belok itu.

Sekarang aku sudah jalani hidup dengan normal lagi. Aku sudah nggak nangis sering-sering, walaupun sering perasaan hampa dan kangen yang nggak tergambarkan itu lagi-lagi datang menguji. Aku rasa itu manusiawi, ya. Seiring waktu, aku pasti bisa lebih kuat lagi.

Life goes on, kata mereka. Juga kata dia, waktu berusaha menguatkanku saat kita sepakat menyudahi. Ya, sayangnya. Despite your lifeless soul, life still goes on. Jadi kamu harus paksa diri kamu untuk kuat menjalani itu. Sampai berhenti. Bisa 10 tahun lagi, bisa tahun depan, bisa 30 tahun lagi, bisa minggu depan. Selama waktu kamu masih ada untuk terus di dunia ini, kecemasan-kecemasan tentang masa depan pasti ada. Manusiawi. Tapi sejauh mana kecemasan itu mempengaruhi emosi kamu...

Aku cemas nggak bisa jatuh cinta lagi karena aku tahu kira-kira tipe seperti apa yang bisa bikin aku jatuh cinta. Dan kalau bukan karena keajaiban skenario Allah, sungguh aku pesimis akan bisa bertemu orang macam itu. Aku cemas nggak akan menikah karena itu, padahal aku selalu mendambakan anak dari rahimku. Aku butuh kasih sayang juga. Aku manusia normal, lho. Dan aku berpacu dengan usia. Kecuali aku ditakdirkan nggak lama lagi untuk ada di dunia ini... itu lain cerita. Tapi andai waktuku masih panjang dan aku harus jalani dengan kesendirian? Sanggupkah aku? Menua seorang diri? Hiks... sedihnya parah banget sih mikir kayak gini. Pikiran-pikiran macam ini yang selalu sukses bikin aku nelangsa....

Kenapa yah lelaki diciptakan sedemikian mudahnya berpaling. Kenapa mereka bisa mudah ungkapkan cinta kalau ternyata nggak mau memperjuangkan dengan kesungguhan. Kenapa atuh, kenapa. Kenapa mereka nggak pernah sadar, apapun kata yang terucap dari bibir mereka, itu akan terus membekas di ingatan si perempuan. Aku teh jadi rada trauma sama pria. Manis di bibir, mengungkap kata.... eh jadi Sunda gini, dan jadi nyanyi lagu jadul, haha.

0 comments:

Post a Comment